Asyiknya Main Game Saat Pandemi dan Isu Pajak yang Membayangi
,
Monday, 22 June 2020
Lebih dari tiga bulan mayoritas dari kita mengurung diri di rumah. Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sukses memaksa sebagian besar masyarakat Indonesia--bahkan dunia--untuk belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah. Rutinitas tanpa interaksi fisik mungkin menyenangkan dalam jangka pendek, tapi lama-kelamaan menjadi rehat imaginer yang membosankan.
Salah satu hiburan yang biasa dilakukan untuk membunuh kebosanan adalah dengan bermain game. Aktivitas yang didominasi oleh anak muda ini bukan lagi hiburan semata tetapi sudah menjadi bisnis skala global beromset miliaran dollar AS. Game kini tidak lagi hanya permainan ekslusif menggunakan konsol, tetapi bisa dimainkan secara daring (online) menggunakan beragam gawai maupun komputer (PC). Bahkan, online games kini masuk kategori olahraga (e-sport) yang diperlombakan dengan ganjaran hadiah yang tidak tanggung-tanggung nilainya.
Sebagai contoh, pengembang game DOTA 2 (Valve Corporation), tahun lalu mengalokasikan hadiah (prize pool) lebih dari US$30 juta bagi para juara turnamen tahunan DOTA 2--kompetisi e-sport paling bergengsi di dunia sejak tahun 2011. Belum lama ini, 25 Mei 2020, Valve merilis Battle Pass berupa konten tambahan atau fitur khusus DOTA 2 yang dibanderol mulai dari US$9,99 hingga US$44,99 tergantung level dan paket ekslusif game yang ditawarkan. Valve menjanjikan 2,25% pemasukan dari penjualan Battle Pass akan dialokasikan sebagai hadiah (prize pool) dalam turnamen internasional DOTA 2 tahun ini. Apabila dikonversi nilai prize pool DOTA 2 diperkirakan mencapai US$35 juta pada batas akhir periode pembelian Battle Pass.
Berdasarkan laporan Global Games Market yang diterbitkan oleh Newzoo, kawasan Asia Tenggara dan Taiwan (Greater Souteast Asia) mengeruk pendapatan terbesar dari bisnis gim, yakni sekitar US$7,2 miliar atau setara dengan Rp1.018 triliun. Omset industri gim dari kawasan ini diprediksi menembus USD8,3 miliar pada tahun 2023.
Tanpa adanya pandemi, sejatinya Indonesia merupakan pasar game yang sangat besar. Di negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan lebih dari 60%-nya didominasi oleh kelompok usia produktif, bisnis gim mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Asosiasi Game Indonesia (AGI) memperkirakan dari total 52,6 juta penduduk Indonesia yang terhubung secara daring, lebih dari separuhnya atau sekitar 34 juta orang bermain game online. Kalau dihitung berdasarkan jumlah Rupiah yang dibelanjakan untuk bermain game, nilainya mencapai US$1,1 miliar. Itu perhitungan nilai pasar tahun 2018 dan pada tahun 2030 nilai pasar game Indonesia diprediksi mencapai US$4,3 miliar dan menjadi Top 5 global. Sayangnya, dari 100% pangsa pasar game di Indonesia, pengembang lokal hanya mendapat kue sebesar 0,4%. Artinya, 99% perputaran uang di pasar game Indonesia mengalir ke kantong-kantong penyedia layanan digital di luar negeri.
Setidaknya itu semua menggambarkan bahwa game tidak hanya asyik untuk dimainkan, tetapi juga menarik untuk dimonetisasi. Wajar jika kemudian booming game yang membonceng euforia luar biasa industri digital, menjadi perhatian otoritas pajak di berbagai belahan dunia. Bahkan, upaya memajaki produk berbasis digital tersebut telah menjadi bahasan serius dalam kerangka kerja OECD dan G20 dalam Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Project. Proyek yang bertujuan menanggulangi penghindaran pajak berganda ini mengangkat isu tentang tantangan perpajakan dalam era digital, yang konsensus globalnya diharapkan tercapai pada akhir tahun 2020.
Elemen dasar perpajakan yang menjadi diskursus global adalah kapan dan di mana--selain berapa--pajak dikenakan atas nilai transaksi ataupun profit dari bisnis digital, tak terkecuali industri game. Ini merupakan tantangan perpajakan yang pelik jika melihat sifat ekonomi digital yang intangible dan scale without mass, yang kerap menjadi dasar penentuan alokasi profit.
Sembari menunggu konsensus global, Indonesia menyusul sejumlah negara seperti Inggris, India, Australia, Prancis, Korea, dan Jepang, yang lebih dahulu mengambil langkah unilateral dengan memungut jenis pajak baru (selain PPh). Untuk bisa memajaki transaksi ekonomi berbasis digital, sayangnya Indonesia terkesan mendompleng isu pandemi Covid-19. Sila tengok Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, yang belum lama ini resmi diketuk menjadi Undang-Undang.
Melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020, pemerintah memberikan perlakuan perpajakan khusus atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), terutama menyasar marketplace atau penyedia platform dan penyedia jasa luar negeri. Per 1 Juli 2020, pemanfaatan barang tidak berwujud atau jasa dari luar daerah pabean melalui sistem elektronik dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan game masuk kategori objek pajak. Syarat dan ketentuannya adalah siapapun penyedia barang dan jasa secara elektronik, baik di dalam maupun di luar negeri, berkewajiban memungut dan menyetorkan PPN ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Tarif PPN berlaku umum, yakni 10 persen, dan itu dibebankan kepada pelanggan Indonesia--tidak terkecuali para gamer lokal.
Tidak hanya itu, segera menyusul pengenaan pajak penghasilan (PPh) dan/atau pajak transaksi elektronik (PTE) atas transaksi perdagangan online yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi secara signifikan (significant economic presence). dengan perubahan nexus--dari physical presence menjadi economic presence--maka penyelenggara PMSE asing yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi secara signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap (BUT) dan dapat dikenakan PPh. Ini mirip dengan rekomendasi OECD dalam BEPS Action Plan 1, yang telah diadopsi India melalui equalization levy, Inggris dengan diverted profit tax (DPT), atau digital services tax (DST) di Prancis.
Wajar kalau perusahaan-perusahaan digital raksasa seperti Google, Facebook, Netflix, atau Spotify ketar-ketir dengar kebijakan Indonesia ini, karena mereka bukan hanya diburu waktu tetapi juga dikejar setoran. Sampai-sampai, Presiden AS Donald Trump misuh-misuh dan mengancam akan membalas negara-negara yang diksriminatif terhadap perusahaan-perusahaan digital yang mayoritas berada di bawah lindungan Paman Sam.
Nama Indonesia disebut Trump loh, petinggi negara Adidaya. Kita sebagai anak bangsa harus bangga atau justru was-was ya? Santai, Indonesia kan presidennya bukan Emmanuel Macron, yang diancam retaliasi oleh Trump langsung menunda pemungutan pajak layanan digital Prancis. Ini kebijakan dan kedaulatan negara loh, bukan permainan adu strategi kaya di game online. Atau, jangan-jangan ini memang permainan buat mereka yang punya kuasa?
Potensi penerimaan
Terlepas dari tensi tinggi para pemimpin negeri, yang pasti pemajakan atas kegiatan ekonomi berbasis digital akan memberikan pendapatan ekstra yang sangat signifikan bagi negara. Jika kita melihat data Statista, perputaran uang di pasar game Indonesia berkisar US$1 miliar setahun, atau kira-kira setara dengan Rp14 triliun (kurs Rp14.000). Dengan asumsi tarif PPN 10%, industri game Indonesia berpotensi menyumbang sedikitnya Rp1,4 triliun ke kas negara. Itu baru dari PPN, belum menghitung potensi setoran PPh dan/atau PTE yang pastinya akan jauh lebih besar lagi.
Keadilan & Netralitas
Pascal Saints-Amans, Director of the Center for Tax Policy dan Angel Gurria, OECD Secretary-General mengatakan kebijakan unilateral yang telah diterapkan sejumlah negara, sulit untuk dicegah hingga tercapainya konsensus global. Jadi, Trump boleh saja reaktif seperti biasanya, tetapi kebijakan pajak unilateral yang semakin menyebar sulit untuk dihentikan seperti halnya pandemi Covid-19 yang mewabah di AS saat ini.
Laura Simmonds, terkait perspektifnya terhadap DST, menekankan prinsip equity/equal treatment dan neutrality yang perlu diperhatikan setiap negara jika ingin menerapkan unilateral measures. Menurutnya, penerapan DST yang mengacu pada threshold pendapatan memiliki risiko pemajakan berganda bagi perusahaan digital yang menawarkan dua atau lebih produk atau jasa yang berbeda karakteristik. Dalam layanan free online streaming, misalnya, DST dikecualikan atas konten digitalnya namun pendapatan dari iklan justru dikenakan pajak. Isu lain terkait equity adalah kemampuan membayar (ability to pay) perusahaan digital yang dalam pengenaan DST mengacu pada pendapatan bersih, tanpa melihat tingkat profitabilitas. Dalam hal neutrality, pajak seharusnya tidak mengintervensi pengambilan keputusan. Tentu dengan adanya “pungutan” tambahan, yang sifatnya tidak dapat dikreditkan non-deductible), akan meningkatkan beban konsumen karena sangat mungkin pungutan itu dimasukkan dalam komponen harga.
Intinya, dampak dari desain kebijakan yang tidak hati-hati dapat berimbas juga terhadap pada usaha kecil-menengah yang menggantungkan nasib pada platform digital yang dikenai DST. Hal tersebut juga kemungkinan dapat mengurangi keputusan investasi perusahaan di masa mendatang. Karenanya, Pemerintah Indonesia sangat perlu memperhatikan prinsip equality dan neutrality dalam menerapkan kebijakan pajak transaksi elektronik.
“Pekerjaan Rumah” Indonesia selanjutnya adalah bagaimana mengoptimalkan penerimaan negara dari potensi dan sumber-sumber pajak baru yang telah dijabarkan di atas, wabil khusus dari industri game. Apabila tidak mau terus-menerus “kecolongan” atau media massa biasa menyebut sebagai “kebocoran” pajak, Otoritas Pajak harus memastikan punya sistem administrasi perpajakan berbasis IT yang mumpuni untuk dapat memajaki para penyedia layanan digital yang sebagian besar sembunyi di luar negeri. Meskipun sudah ada sanksi administrasi, mulai dari teguran hingga pemutusan akses atau jaringan online, itu saja belum cukup. Intinya, pemerintah perlu melakukan extra effort untuk bisa menangkap potensi pajak dari perusahaan-perusahaan penyedia layanan digital di luar negeri.
Terlepas dari itu semua, ibarat iseng-iseng berhadiah, bermain game kini tidak hanya menyenangkan tetapi sudah menjadi pilihan karir profesional yang sangat menjanjikan penghasilan bagi sebagian kalangan. Kalau dapat hadiah saja dikenakan pajak, apalagi konten dan penghasilannya. Jadi, buat para gamers di Indonesia, jangan cuma asyik bermain tanpa tahu konsekuensi dan beban pajak yang seharusnya dibayarkan. Masa cuma menguntungkan pemain asing terus, mana nasionalismenya?
**) Tulisan ini telah terbit di CNBC Indonesia, 16 Juni 2020
CNBC IndonesiaDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.